Selasa, 11 Mei 2010

Negara yang terpingkirkan

Catatan ini didorong oleh dua klaim. Pertama, klaim umum para pengritik neoliberalisme bahwa ‘peran negara, terutama (khususnya) dalam hal kesejahteraan’ semakin berkurang. Kedua, tanggapan kawan saya Sulfikar ‘Aso’ Amir dalam catatan saya sebelum ini, “30 tahun lebih welfare state bekerja secara efektif diberbagai negara eropa dan to some extent di amerika utara sebelum akhirnya pelan2 dikurangi pasca Washington-Consensus.”

Tanggapan saya untuk Aso adalah praktek welfare state makin berkurang, tapi itu lebih didorong oleh faktor demografi – bergesernya piramida penduduk dari usia produktif ke usia tua, menyebabkan rasio ketergantungan yang makin tinggi.

Tapi tanggapan saya ini pun tidak sepenuhnya benar. Setidaknya, kalau (hanya) melihat dari rasio pengeluaran sosial terhadap PDB di berbagai negara. Pengeluaran sosial (social expenditure; social transfer) di sini didefinisikan secara umum sebagai pengeluaran pemerintah terkait pos-pos pendidikan, kesehatan, tunjangan pensiun, perumahan, tunjangan pengangguran dan bentuk transfer lainnya.

Data dari negara-negara OECD menunjukkan, dari 1980-2005, rata-rata rasio pengeluaran sosial terhadap PDB meningkat dari 16 menjadi 21 persen. Ada beberapa variasi antarnegara, tentunya. Ini bisa dilihat dalam gambar 1-3 (sumber: OECDstat). Pembagian grafik dilakukan berdasarkan kelompok negara yang rasio pengeluaran sosialnya tinggi (1), menengah (2) dan rendah (3). Secara umum, negara-negara OECD menunjukkan trend meingkat, setidaknya tidak turun. Ada beberapa pengecualian seperti Benelux yang mengalami penurunan; Swedia yang naik hingga pertengahan ‘90an, lalu turun menjelang akhir abad 20 dan kemudian mulai naik lagi; Jepang dan AS yang di tahun ‘80an rendah tapi meningkat di dekade setelahnya.

Bagaimana dengan negara berpendapatan menengah atau non-Eropa/Amerika Utara/Australia? Secara umum, rasio di negara-negara ini memang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju. Sayangnya saya belum berhasil mengumpulkan data yang cukup komprehensif untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tapi di gambar 3 ada yang menarik. Meksiko mengalami peningkatan yang cukup signifikan sepanjang dekade ’80an, dan berlanjut hingga ‘90an. Ini terjadi ketika Amerika Latin ada di periode ‘Konsensus Washington’ atau ‘structural adjustment.’ Sementara pengeluaran sosial di Korea Selatan justru naik pesat sejak akhir ‘90an – justru setelah krisis dan Korea masuk program IMF.

Gambar 4 menunjukkan data dari beberapa negara berkembang lainnya antara 1980-1999 (sumber: Dion, 2008). Ada beberapa pola umum:

  • Pengeluaran sosial di eks-komunis dan Amerika Latin rata-rata lebih tinggi dibandingkan Asia (dan juga Afrika). Ini Konsisten dengan argument Lindert (2004). Mungkin ini terkait dengan faktor sejarah dan, untuk kasus Amerika Latin, peran kultur Katolik.
  • Demikan halnya di Timur Tengah, meski di gambar ini hanya diwakili oleh Mesir, dan negara itu menunjukkan penurunan menjelang akhir dekade ‘90an.
  • Di Amerika Latin, Brazil mengalami peningkatan siginifikan dalam dua dekade pengamatan. Uruguay menunjukkan fluktuasi.
  • Yang menarik adalah rasio pengeluaran sosial di Chile justru tinggi di dekade ‘80an – di era Pinochet – dan lebih rendah di dekade ‘90an. Ini mungkin terkait dengan perubahan kebijakan jaminan sosial dari sistem Pay-As-You-Go ke ‘Fully-funded.’

Saya mengakui, ini hanya pengamatan sederhana dan deskriptif. Saya bahkan belum mengecek konsistensi dan kualitas data yang digunakan (apakah definisi yang digunakan, apakah semua tingkat pemerintah atau hanya pusat, dll). Tapi dari angka-angka ini, saya tidak melihat dukungan atas klaim bahwa peran negara di bidang kesejahteraan mengalami peminggiran. The government is there, and always there.

Dan saya juga tidak sedang mengambil kesimpulan atau implikasi apapun yang lebih jauh dari sebatas deskriptif. Saya tidak mengatakan ini baik atau buruk; apakah pengeluaran sosial yang tinggi berkorelasi dengan kesejahteraan yang meningkat; apakah komposisi pengeluaran di tingkat mikro sudah sesuai dengan problem yang dihadapi (contoh: kalau problem di sektor pendidikan adalah papan tulis yang rusak, jangan-jangan mayoritas pengeluarannya untuk gaji guru). Justru ini poin yang penting untuk didiskusikan, di luar ideologi.

Bagaimana dengan di Indonesia? Nanti lah kalau sudah menemukan datanya (atau menemukan waktu untuk mencari dan menganalisis datanya). ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar